htmla

Kamis, 02 Oktober 2008

DARI SING MING HUI KE CANDRA NAYA,

  Tahun ini genap 61 tahun  usia Perhimpunan Sosial Candra Naya.
Jarang ada organisasi Tionghoa yang bisa bertahan lebih dari setengah abad di
Indonesia.Apalagi setelah berbagai organisasi Tionghoa diberangus pada masa
pemerintahan Orde Baru. Sungguh luar biasa perjuangan para pengurusnya yang
berhasil bertahan menghadapi berbagai goncangan politik di negara ini dan
tarik-menarik berbagai kepentingan pribadi di antara para pengurus organisasi
tersebut.

Keberhasilan bertahan Candra Naya hanya dapat dibandingkan
dengan
Yayasan Pendidikan Warga, Solo sebagai metamorfosa dari Tiong Hoa Hwe Koan Solo
yang dua tahun lalu baru saja merayakan 100 tahun berdirinya organisasi
tersebut. Seperti juga Yayasan Warga, Candra Naya sampai saat ini masih
mengelola sekolah, panti asuhan dan berbagai kegiatan lainnya.Hanya sangat
disayangkan Rumah Sakit Sin Ming Hui (diresmikan oleh Walikota dan Jawatan
Kesehatan Kota pada 24 Juni 1957) yang dipimpin Dr.Loe Ping Kian yang kemudian
berganti nama menjadi Rumah Sakit Sumber Waras telah lepas dan menjadi rumah
sakit yang tidak ada hubungannya dengan organisasi yang mendirikannya.Demikian
juga dengan Universitas Tarumanagara (Yayasannya didirikan 11 September 1959)
yang dipimpin Drs.Kwee Hwat Djien telah menjadi universitas yang tidak ada
kaitannya sama sekali dengan Candra Naya.Malahan dalam usaha memperebutkan
kedua asset tersebut, kasus ini sampai ke pengadilan dan Mahkamah Agung.

Sin Ming Hui atau “Perkumpulan Sinar Baru” didirikan atas prakarsa
beberapa orang Tionghoa yang prihatin dan merasa peduli akan keadaan nasib
orang Tionghoa yang banyak menderita akibat penjajahan Jepang.

Dalam sebuah artikel berjudul “Masyarakat Baru Dalam Aliran Baru”
yang di yang dimuat harian Sin Po 2 Januari 1946, sembilan orang dari harian
Sin Po dan Keng Po yang menanda-tangani artikel tersebut menyerukan kepada
pembacanya untuk mendirikan sebuah perkumpulan baru yang akan diberi nama Sin
Ming Hui. Perkumpulan baru tersebut menunggu calon anggotanya.

Seruan tersebut sebagai hasil pertemuan beberapa orang Tionghoa,
antara lain Thio Tong Hay,Khoe Woen Sioe, Lie Tek Ho, Lay Ie Thong dan Chang
Ming An. Pertemuan tersebut berlangsung di sebuah ruangan di lantai dua kantor
harian Sin Po, Jalam Asemka,Jakarta. Pertemuan kecil ini perlu dicatat dalam
sejarah perkembangan orang Tionghoa di Indonesia,tidak kalah dengan sejarah
berdirinya Tiong Hoa Hwe Koan,karena dari pertemuan tersebut lahir sebuah
organisasi sosial Tionghoa yang kelak memainkan peranan yang sangat penting dan
besar bagi kehidupan masyarakat Tionghoa terutama di Jakarta dan Bandung.
Tujuan Sin Ming Hui adalah “bergerak menuju cita-cita dan aliran baru”.

Dalam pemilihan pengurus, kriteria yang menentukan pimpinan bukan
berdasarkan kekayaan yang bersangkutan tetapi kualitas
pengabdian,kejujuran,tanggung jawab dan integritasnya.Sungguh suatu langkah
yang maju, mengingat pada pada masa-masa sebelumnya pemimpin orang Tionghoa
selalu dipilih berdasarkan kekayaannya.

Sebagai hasil seruan di harian Sin Po tersebut,pada hari Minggu
pagi 20 Januari 1946, berkumpul 40 orang di sebuah ruang lantai dua harian Sin
Po untuk meresmikan berdirinya Perkumpulan Sin Ming Hui.

Pengurus pertama yang dipimpin Khoe Woen Sioe sebagai ketuanya
ternyata orang-orang nekat,karena mereka memutuskan untuk menyewa gedung
almarhum Mayor Tionghoa Khouw Kim An yang terletak di Jalan Gajah Mada 188,
walaupun ongkos sewanya mahal sekali, yaitu f 750.- setiap bulannya, padahal
jumlah anggotanya baru dua ratus orang saja. Namun ternyata keputusan ini
adalah keputusan strategis yang tepat, karena dengan menempati gedung yang
luas, kegiatan Sin Ming Hui cepat berkembang dan jumlah anggotanya dalam waktu
singkat mencapai tujuh ribu orang.

Kemajuan luar biasa yang dicapai Sin Ming Hui disebabkan juga oleh
situasi masa itu, di mana keamanan sangat buruk, apalagi setelah terjadi
peristiwa rasialis Tangerang yang menelan korban ratusan orang Tionghoa mati
terbunuh dan ribuan orang lainnya lari ke Jakarta untuk menjadi pengungsi yang
sebagian ditampung di gedung Sin Ming Hui. Ketika peristiwa itu terjadi, tidak
ada seorang Tionghoa pun yang berani pergi ke Tangerang untuk meninjau dan
memberikan pertolongan, kecuali dua orang anggota Sin Ming Hui bersama seorang
wartawan dan seorang pegawai Kementerian Penerangan. Tanpa mengenal waktu,
siang dan malam Sin Ming Hui bekerja memberikan pertolongan kepada para korban
peristiwa rasialis tersebut.

Kegiatan pertama yang dilaksanakan pada 1 April 1946, adalah
membuka poliklinik yang sangat dibutuhkan masyarakat Tionghoa. Demikian juga
dengan berdirinya seksi Buruh dan Klinik Bantuan Hukum mendorong orang-orang
Tionghoa di Jakarta mendaftarkan diri menjadi anggota Sin Ming Hui.

Pada 15 Juni 1946,Hua Chiao Hsieh Hui Bandung menggabungkan diri
dengan merubah namanya menjadi Sin Ming Hui Bandung dan berpusat di Jalan
Braga.Langkah berikutnya untuk memperkokoh organisasi, pada 14 September 1946
Sin Ming Hui Bandung melakukan fusi dengan Hua Chiao Tsing Nien Hui.

Tokoh-tokoh Tionghoa yang pernah memimpin dan menjadi pengurus Sin
Ming Hui antara lain : Khoe Woen Sioe,Mr.Lie Kian Kim,Mr.Liem Tjing Hien,Mr.Oei
Tjoe Tat,Drs.Khoe Soe Khiam, Mr.Phoa Thian Hian, Mr.Go Tie Siem, Thung Tiong
Soen,Liem Tjong Tong,Tan Kwie Seng, Go King Liong,Gho Tjeng Kie,Tjhio Jan
Seng,Ny.Lauw In Nio,Go Gak Cho,Ang Jan Goan,Poey Seng Tjay, Thio Tek Hong, Oei
Kim Sen,Drs.Kwee Hwat Djien,Mr.Auwjang Peng Koen, Mr.Yap Thiam Hien, Tan Kwat
In, dan lain-lainnya.

Masyarakat Tionghoa Jakarta yang tua-tua tentunya masih ingat
upacara-upacara Sin Cia, Peh Cun dll perayaan tradisi Tionghoa lainnya dengan
tarian langliong Tjeng Bu Tee Jok Hwee dan barongsay Khoen Lok Siah yang sering
diselenggarakan Sin Ming Hui secara besar-besaran di gedungnya yang luas.
Demikian juga dengan fancy fair atau bazaar yang setiap tahun diselenggarakan
secara meriah dalam rangka fund raising atau merayakan ulang tahun Sin Ming Hui
dan Hari Kemerdekaan RI. Demikian juga seksi sandiwara yang berhasil
mementaskan drama “Mawar Hutan” , banyak menarik perhatian masyarakat,
sampai-sampai diundang Presiden Soekarno untuk mementaskannya di Istana Bogor.
Para pemainnya antara lain Ivonne Thio,Khoe Wie Hien, Harry Tjan Dhiam Hok dan
lain-lainnya.

Namun prestasi yang paling penting dan berhasil adalah di bidang
pendidikan dan kesehatan. Dimulai dengan mendirikan SD Min Teh disusul dengan
sekolah Asisten Apoteker (SAA), kemudian SMP,SMA dan mencapai puncaknya dengan
mendirikan Universitas Tarumanegara di daerah Grogol.Universitas Tarumanegara
berkembang dengan pesat dan kini menjadi salah satu universitas swasta yang
terkenal dengan gedungnya yang modern di Jakarta.

Di bidang kesehatan ambisi para pengurus Sin Ming Hui untuk
mendirikan sebuah rumah sakit modern berhasil diwujudkan, yaitu Rumah Sakit
Sumber Waras yang sampai sekarang masih berdiri dan beroperasi serta memainkan
peranan yang penting dalam memberikan layanan medis kepada penduduk Jakarta.

Pada tahun 1962 sesuai dengan kondisi politik pada masa itu,
Perkumpulan Sin Ming Hui berganti nama menjadi Perhimpunan Sosial Tjandra Naja
(Berita Negara RI No.32 tanggal 19 April 1962) yang kemudian disesuaikan dengan
ejaan baru menjadi Perhimpunan Sosial Candra Naya.

Setelah tragedi G30S, hampir seluruh organisasi yang dibangun etnis
Tionghoa di Indonesia dibubarkan penguasa Orde Baru dan seluruh asetnya dengan
sewenang-wenang diambil alih tanpa dasar hukum yang jelas,tetapi Candra Naya
berhasil “selamat” dan tetap eksis sampai sekarang.

Namun sangat disayangkan Candra Naya yang telah berhasil lolos
dari berbagai huru-hara dan gejolak politik, gagal mempertahankan gedung
perkumpulannya yang terletak di jalan Gajah Mada 188. Konon dengan bantuan para
pejabat Orde Baru, gedung bersejarah tersebut berhasil dikuasai konglomerat
hitam Tionghoa yang secara tidak bertanggung jawab merobohkan gedung yang
menjadi monumen eksistensi masyarakat Tionghoa Jakarta. Ironisnya,konglomerat
tersebut terkena imbas krismon dan proyeknya gagal setengah jalan, sehingga
apabila kita melintas di muka jalan Gajah Mada 188, suasana suram dan seram
yang kita lihat menggantikan suasana lembut dan sosial yang sebelumnya
terpancar dari gedung tersebut.

Gedung Candra Naya sekarang pindah ke daerah Jembatan Besi, di
tengah-tengah daerah kumuh, namun yang penting masih tetap eksis ibarat kata
pepatah “Tak Lapuk disiram hujan, tak lekang dibakar matahari”.

Dirgahayu Candara Naya !





Jakarta,28 Maret 2007.



Benny G.Setiono

Ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Jakarta.


Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

Related Articles



0 comments: on "DARI SING MING HUI KE CANDRA NAYA,"

Posting Komentar